"Mak aku makan ya? Lapar".
"Ya, sebentar, Mak sedang menghangatkan soto ayam kesukaanmu, cinta", ujarku pada anakku. Panci berisi soto masih berada di atas kompor, belum panas.
Pagi-pagi seperti biasanya ada kesibukan yang rutin di dapur rumah ini. Memasak, atau bisa jadi hanya menghangatkan masakan saja untuk seluruh anggota keluarga ini. Tiga anakku, dan ibuku. Aku sendiri hanya larut dalam kesibukan, tapi enggan untuk sarapan.
"Mak, aku pergi dulu sebentar. Lumayan aku jadi bisa mendapat selembar uang jajan untuk di sekolah nanti, Mak".
"Hati-hati, jangan ngebut".
"Tenang saja, Mak. Aku berhati-hati kok. Pesan Mak selalu aku ingat", ujarnya sambil tertawa.
Ah, anakku yang satu ini memang selalu berkata begitu. Padahal setiap kali pula aku tahu bagaimana ngebutnya dia mengendarai motor. Anakku yang lain sering berkata padaku,"Mak, nasehati dia, Mak. Selalu saja dia ngebut mengendarai motornya". Biasanya aku cuma tersenyum menanggapinya.
Lima belas menit berlalu, anakku datang dengan senyumnya yang khas. Diambilnya nasi, dimasukkan dalam piring, lalu disiramkannya soto. Lahap anakku makan.
"Mak, aku berangkat", lalu diciumnya punggung tangan kananku, sambil tetap tersenyum. Aku membalas mencium punggung tangannya, sebagai tanda aku pun menghormatinya, juga mencintainya. Semakin lama semakin mengecil bayang anakku di ujung jalan, lalu menghilang. Menuju sekolah dengan senyum yang memang selalu ada di bibirnya.
Anakku lanang, anakku yang baik. Tak mengeluh walau pun hanya bisa sarapan dengan nasi dan kuah soto tanpa isi, dan masih tetap tersenyum walau harus mengojek untuk seorang teman di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, agar bisa memiliki uang saku, dan berusaha tak membebaniku. Anakku lanang, semoga senyummu selalu hiasi hatimu dalam seluruh perjalanan hidupmu...
Tak terasa pagi beranjak garang dengan sinarnya. Ada kesibukan lain yang menanti diselesaikan olehku...
Salam Senyum,
error
"Ya, sebentar, Mak sedang menghangatkan soto ayam kesukaanmu, cinta", ujarku pada anakku. Panci berisi soto masih berada di atas kompor, belum panas.
Pagi-pagi seperti biasanya ada kesibukan yang rutin di dapur rumah ini. Memasak, atau bisa jadi hanya menghangatkan masakan saja untuk seluruh anggota keluarga ini. Tiga anakku, dan ibuku. Aku sendiri hanya larut dalam kesibukan, tapi enggan untuk sarapan.
"Mak, aku pergi dulu sebentar. Lumayan aku jadi bisa mendapat selembar uang jajan untuk di sekolah nanti, Mak".
"Hati-hati, jangan ngebut".
"Tenang saja, Mak. Aku berhati-hati kok. Pesan Mak selalu aku ingat", ujarnya sambil tertawa.
Ah, anakku yang satu ini memang selalu berkata begitu. Padahal setiap kali pula aku tahu bagaimana ngebutnya dia mengendarai motor. Anakku yang lain sering berkata padaku,"Mak, nasehati dia, Mak. Selalu saja dia ngebut mengendarai motornya". Biasanya aku cuma tersenyum menanggapinya.
Lima belas menit berlalu, anakku datang dengan senyumnya yang khas. Diambilnya nasi, dimasukkan dalam piring, lalu disiramkannya soto. Lahap anakku makan.
"Mak, aku berangkat", lalu diciumnya punggung tangan kananku, sambil tetap tersenyum. Aku membalas mencium punggung tangannya, sebagai tanda aku pun menghormatinya, juga mencintainya. Semakin lama semakin mengecil bayang anakku di ujung jalan, lalu menghilang. Menuju sekolah dengan senyum yang memang selalu ada di bibirnya.
Anakku lanang, anakku yang baik. Tak mengeluh walau pun hanya bisa sarapan dengan nasi dan kuah soto tanpa isi, dan masih tetap tersenyum walau harus mengojek untuk seorang teman di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, agar bisa memiliki uang saku, dan berusaha tak membebaniku. Anakku lanang, semoga senyummu selalu hiasi hatimu dalam seluruh perjalanan hidupmu...
Tak terasa pagi beranjak garang dengan sinarnya. Ada kesibukan lain yang menanti diselesaikan olehku...
Salam Senyum,
error
Good boy... :D
ReplyDeleteyup, yup... he's a good one
Delete