Lagi-lagi Ngka duduk bareng Esa, dan kursi mereka ada di depan kursi Pink yang bareng gue. Pink menikmati perjalanan dengan melihat langit, awan-awan yang putih bersih. Gue tidur nyenyak, dan terbangun saat akan landing.
Semarang! Dalam hati berteriak saat memandang kota yang ada di bawah. Delapan tahun kami meninggalkan kota ini. Kota yang penuh kenangan, dan tempat papa Ngka, Esa, Pink, dimakamkan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar.
"Ma, Semarang."
"Ya, Nduk. Semarang."
Wajah Pink ceria.
"Kita langsung ke hotel, atau ke makam papa?"
"Makam papa, Nduk."
Ga ada yang tahu saat itu gue sedang menahan airmata. Jangan menangis, plis, itu yang berulang kali diucap untuk diri sendiri.
Bandara Ahmad Yani. Semarang, kaki kami ada di tanahmu sekarang. Semakin sulit membendung airmata, tapi tetap bertahan untuk tenang.
"Toilet ya, Ma."
Ngka dan Esa, berdua menuju toilet, sedangkan Pink dan gue menunggu mereka keluar. Pink terlihat agak gelisah. Mungkin karena ingin segera nyekar ke makam sang papa.
Setelah Ngka, Esa, keluar dari toilet, kami menuju luar.
"Taxi atau angkot?"
"Angkot aja, Ma." Jawab Pink.
Kaget sewaktu mendengar Pink yang menjawab. Tubuhnya ringan berjalan, dengan senyum terpahat. Sengatan matahari Semarang ga memudarkan cerah wajahnya!
"Ok, jalan kaki ya ke jalan raya," ujar gue.
Wuaduh, jalan raya masih jauh! Panas pula!
"Taxi aja, ya?"
Baru saja gue selesai mengucap, taxi berhenti di depan kami.
"Bergota, Pak."
Di dalam taxi, bapak sopir mengobrol dengan Esa. Ngka sibuk memegang hp, juga Pink. Gue diam mengamati kota masa lalu.
"Mau nyekar siapa?"
"Papa."
Gue tetap diam. Bagaikan sebuah film panjang diputar kembali dalam kenang.
"Makamnya sebelah mana?"
"Bagian atas, Pak." Jawabku. Film sejarah masa lalu terpenggal.
Taxi melalui jalan menanjak. Pa, sebentar lagi kami tiba, bisik hati.
"Pak, salah jalan. Bukan ini. Di dekat makam ada tempat parkirnya."
"Oh, berarti belokan yang di sana, masih satu belokan lagi."
Sesak. Napas mulai sesak, dada terasa sakit. Sebentar lagi, sebentar lagi!
"Ya, Pak. Di sini, betul. Bapak tunggu aja, ya?"
"Baik, Bu."
Gue bergk cepat membuka pintu. Menggandeng tangan Pink, putri cantik. Ngka dan Esa, pangeran gagah mengawal kami dari belakang.
"Itu papa! Itu papa!" Gue berteriak histeris, berlari menuju makamnya!
Airmata yang dibendung sejak lama, ga bisa lagi ditahan. Terisak duduk di pinggiran makam. Tiga kekasih terdengar isakannya juga.
"Maaf, Pa. Baru bisa mengajak anak-anak menjenguk, sesudah delapan tahun lebih. Maaf ya Pa? Ini anak-anak, Pa." Suara gue terbata saat mengucap maaf ke Henk yang ada di dalam bumi. Lelaki dalam bumi, sejak 28 September 2007. Yang pergi karena kanker hati, di usia 39 tahun.
"Ini Ngka, Pa."
"Ini Esa, Pa."
"Ini Pink, Pa."
Satu persatu menyapanya, menyapa seorang papa yang delapan tahun pergi.
"Doa untuk Papa, sayang."
Tiga kekasih berdoa, begitu juga gue, lalu kami larut dalam doa. Airmata turun deras.
"Foto, Ka. Foto sama papa."
Lalu berfoto di sana, berfoto bareng lelaki yang ada dalam sejarah hidup, lelaki dari masa lalu, yang ga akan pernah kami lupakan. Darahnya mengalir dalam tubuh Ngka, Esa, Pink.
Selesai berdoa, berfoto, kembali ke taxi.
"Pak, tahu baso petruk?"
"Tahu, Bu."
"Kita ke sana aja, Pak. Ke hotelnya nanti aja."
"Hotel apa, Bu?"
"Whizz, Pak."
"Oh, deket, Bu. Jalan kaki sebentar juga sampai, kok."
Taxi berjalan lambat, dan akhirnya sampai juga di warung baso Petruk.
"Terimakasih ya, Bu. Selamat makan, selamat menikmati kota Semarang."
Lalu pak sopir yang gue lupa namanya itu pun berlalu.
Ngka, Esa, Pink, ga terlihat lelah. Wajah mereka penuh kegembiraan, kelegaan. Sambil menunggu pesanan baso dan minum datang, gue iseng membuka instagram. Dan sungguh mengejutkan ternyata Esa mengunduh foto kami berempat bersama sang papa, dengan tulisan: Hai papa, kita berjumpa lagi.
Ah cinta, perjalanan ini membuat airmata harus ditahan lagi.
Salam penuh kasih,
Nitaninit Kasapink
Semarang! Dalam hati berteriak saat memandang kota yang ada di bawah. Delapan tahun kami meninggalkan kota ini. Kota yang penuh kenangan, dan tempat papa Ngka, Esa, Pink, dimakamkan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar.
"Ma, Semarang."
"Ya, Nduk. Semarang."
Wajah Pink ceria.
"Kita langsung ke hotel, atau ke makam papa?"
"Makam papa, Nduk."
Ga ada yang tahu saat itu gue sedang menahan airmata. Jangan menangis, plis, itu yang berulang kali diucap untuk diri sendiri.
Bandara Ahmad Yani. Semarang, kaki kami ada di tanahmu sekarang. Semakin sulit membendung airmata, tapi tetap bertahan untuk tenang.
"Toilet ya, Ma."
Ngka dan Esa, berdua menuju toilet, sedangkan Pink dan gue menunggu mereka keluar. Pink terlihat agak gelisah. Mungkin karena ingin segera nyekar ke makam sang papa.
"Taxi atau angkot?"
"Angkot aja, Ma." Jawab Pink.
Kaget sewaktu mendengar Pink yang menjawab. Tubuhnya ringan berjalan, dengan senyum terpahat. Sengatan matahari Semarang ga memudarkan cerah wajahnya!
"Ok, jalan kaki ya ke jalan raya," ujar gue.
Wuaduh, jalan raya masih jauh! Panas pula!
"Taxi aja, ya?"
Baru saja gue selesai mengucap, taxi berhenti di depan kami.
"Bergota, Pak."
Di dalam taxi, bapak sopir mengobrol dengan Esa. Ngka sibuk memegang hp, juga Pink. Gue diam mengamati kota masa lalu.
"Mau nyekar siapa?"
"Papa."
Gue tetap diam. Bagaikan sebuah film panjang diputar kembali dalam kenang.
"Makamnya sebelah mana?"
"Bagian atas, Pak." Jawabku. Film sejarah masa lalu terpenggal.
Taxi melalui jalan menanjak. Pa, sebentar lagi kami tiba, bisik hati.
"Pak, salah jalan. Bukan ini. Di dekat makam ada tempat parkirnya."
"Oh, berarti belokan yang di sana, masih satu belokan lagi."
Sesak. Napas mulai sesak, dada terasa sakit. Sebentar lagi, sebentar lagi!
"Ya, Pak. Di sini, betul. Bapak tunggu aja, ya?"
"Baik, Bu."
Gue bergk cepat membuka pintu. Menggandeng tangan Pink, putri cantik. Ngka dan Esa, pangeran gagah mengawal kami dari belakang.
"Itu papa! Itu papa!" Gue berteriak histeris, berlari menuju makamnya!
Airmata yang dibendung sejak lama, ga bisa lagi ditahan. Terisak duduk di pinggiran makam. Tiga kekasih terdengar isakannya juga.
"Maaf, Pa. Baru bisa mengajak anak-anak menjenguk, sesudah delapan tahun lebih. Maaf ya Pa? Ini anak-anak, Pa." Suara gue terbata saat mengucap maaf ke Henk yang ada di dalam bumi. Lelaki dalam bumi, sejak 28 September 2007. Yang pergi karena kanker hati, di usia 39 tahun.
"Ini Ngka, Pa."
"Ini Esa, Pa."
"Ini Pink, Pa."
Satu persatu menyapanya, menyapa seorang papa yang delapan tahun pergi.
"Doa untuk Papa, sayang."
Tiga kekasih berdoa, begitu juga gue, lalu kami larut dalam doa. Airmata turun deras.
"Foto, Ka. Foto sama papa."
Lalu berfoto di sana, berfoto bareng lelaki yang ada dalam sejarah hidup, lelaki dari masa lalu, yang ga akan pernah kami lupakan. Darahnya mengalir dalam tubuh Ngka, Esa, Pink.
Selesai berdoa, berfoto, kembali ke taxi.
"Pak, tahu baso petruk?"
"Tahu, Bu."
"Kita ke sana aja, Pak. Ke hotelnya nanti aja."
"Hotel apa, Bu?"
"Whizz, Pak."
"Oh, deket, Bu. Jalan kaki sebentar juga sampai, kok."
Taxi berjalan lambat, dan akhirnya sampai juga di warung baso Petruk.
"Terimakasih ya, Bu. Selamat makan, selamat menikmati kota Semarang."
Lalu pak sopir yang gue lupa namanya itu pun berlalu.
Ngka, Esa, Pink, ga terlihat lelah. Wajah mereka penuh kegembiraan, kelegaan. Sambil menunggu pesanan baso dan minum datang, gue iseng membuka instagram. Dan sungguh mengejutkan ternyata Esa mengunduh foto kami berempat bersama sang papa, dengan tulisan: Hai papa, kita berjumpa lagi.
Ah cinta, perjalanan ini membuat airmata harus ditahan lagi.
Salam penuh kasih,
Nitaninit Kasapink
ikut mewek, masih berlanjut ini???
ReplyDeleteMasih, Mbak
DeleteMasih, Mbak.
ReplyDeleteAku baru tahu tentang ini, Mbak. Hiks
ReplyDeletePapa pasti bahagia di sana. :)
Amin.
DeleteTerimakasih, Mbak :)
Perjalanan yang ada cinta ya, Mbak.
ReplyDeleteYa, Mas, perjalanan penuh cinta :)
DeletePerjalanan yang sangat luar biasa mbak, saya membacanya sambil ikut2tan mewek nih mbak ..
ReplyDeleteIni benar-benar luar biasa, Mas. Perjalanan yang jadi cita-cita selama delapan tahun.
Delete