Di otak gue, sosok Kartini adalah wanita Jawa yang lembut, feminin. Dengan busana berkebaya, bersanggul, menambah kuat sosok feminin perempuan Jawa zaman dulu. Tapi ternyata salah! Kartini, R.A. Kartini, bukan seorang perempuan Jawa seperti dalam bayangan gue. Nop!
Kartini memang perempuan Jawa, memang hidup dalam aturan tata krama, adat, Jawa yang kental. Apalagi Kartini adalah anak seorang Bupati Japara. Tapi beliau bukan perempuan yang lemah gemulai, melainkan sosok yang beda.
Kartini memang berbeda. Kartini seorang perempuan tomboy, Kartini yang membangkang adat, tapi tetap santun.
Kartini dalam film ini ditampilkan dalam kesehariannya yang berbeda. Bayangkan saja, berkain kebaya, tapi bisa duduk-duduk santai di atas tembok keputren! Ada obrolan antara Kartini, Kardinah dan Roekmini, tentang keengganan menikah, enggan bersuami, karena mereka merasa tanpa suami pun mereka bisa membantu orang lain. See? Itu pemikiran perempuan yang lahir di zaman dulu. Sedangkan di saat ini saja masih sibuk orang bertanya-tanya tentang,"Kapan menikah?"
Ditampilkan pula sosok Kartono, seorang kakak yang mendukung kebebasan berpikir yang dimiliki Kartini, selain juga ditampilkan sosok kakak lain yang menentang pemikirannya. Ada juga sosok bapak dari Kartini, ibu kandung, juga ibu tiri, serta kakak perempuannya yang pulang ke rumah karena suaminya menikah lagi.
Kartini yang melekat di otak gue adalah tentang perempuan yang fokus pada pendidikan perempuan. Ternyata beliau pun memikirkan tentang ekonomi masyarakat di Japara.
Kartini yang hebat, dengan pemikiran hebat, dan bukan cuma sekadar berpikir, tapi direalisasikan.
R.A. Kartini diperankan oleh Dian Sastrowardoyo, bermain apik. Begitu juga pemeran yang lain memainkan peran dengan apik.
Film garapan Hanung Bramantyo ini sukses membuat air mata menitik, tapi tidak membuat jadi cengeng.
Kartini memang perempuan Jawa, memang hidup dalam aturan tata krama, adat, Jawa yang kental. Apalagi Kartini adalah anak seorang Bupati Japara. Tapi beliau bukan perempuan yang lemah gemulai, melainkan sosok yang beda.
Kartini memang berbeda. Kartini seorang perempuan tomboy, Kartini yang membangkang adat, tapi tetap santun.
Kartini dalam film ini ditampilkan dalam kesehariannya yang berbeda. Bayangkan saja, berkain kebaya, tapi bisa duduk-duduk santai di atas tembok keputren! Ada obrolan antara Kartini, Kardinah dan Roekmini, tentang keengganan menikah, enggan bersuami, karena mereka merasa tanpa suami pun mereka bisa membantu orang lain. See? Itu pemikiran perempuan yang lahir di zaman dulu. Sedangkan di saat ini saja masih sibuk orang bertanya-tanya tentang,"Kapan menikah?"
Ditampilkan pula sosok Kartono, seorang kakak yang mendukung kebebasan berpikir yang dimiliki Kartini, selain juga ditampilkan sosok kakak lain yang menentang pemikirannya. Ada juga sosok bapak dari Kartini, ibu kandung, juga ibu tiri, serta kakak perempuannya yang pulang ke rumah karena suaminya menikah lagi.
Kartini yang melekat di otak gue adalah tentang perempuan yang fokus pada pendidikan perempuan. Ternyata beliau pun memikirkan tentang ekonomi masyarakat di Japara.
Kartini yang hebat, dengan pemikiran hebat, dan bukan cuma sekadar berpikir, tapi direalisasikan.
R.A. Kartini diperankan oleh Dian Sastrowardoyo, bermain apik. Begitu juga pemeran yang lain memainkan peran dengan apik.
Film garapan Hanung Bramantyo ini sukses membuat air mata menitik, tapi tidak membuat jadi cengeng.
Iya, sosok Kartini lebih digarap di sini. Hal itu tak lepas dari bantuan keluarga aslinya yang masih hidup sampai sekarang
ReplyDeleteBener deh Mbak, sosok Kartini yang aku kenal sejak kecil tuh dirombak abis-abisan setelah nonton film ini. Dulu kagumku cuma sebatas gitu aja. Tapi setelah tahu sosoknya dari film ini, kagumku jadi luar biasa. Ternyata sosok beliau luar biasa banget keren!
Delete