Tidak melupakanku, kan? Aku, Err. Perempuan pecinta pantai, laut, pasir, sinar matahari, dan anginnya. Jangan melupakanku. Kurasa tak ada yang ingin menjadi yang terlupakan dan dilupakan. Karena aku tak ingin dilupakan, atau terlupakan.
Sendiri di sini mengenangmu adalah hal yang menyakitkan. Tak terbayang semua ini terjadi lagi padaku. Lagi! Berulang kali menghela napas panjang ternyata tak mengurangi rasa sakit yang terasa menyayat dalam dada. Lagi!
Lagi dan lagi kesakitan ini menyerang. Lagi dan lagi harus mengenang. Lagi dan lagi menyusut air mata.
Dalam hati bertanya, apakah kamu mengenangku seperti aku mengenangmu? Apakah kamu mengingatku seperti kumengingatmu? Rasanya tidak.
Dalam pikiran pun ada tanya, apakah kamu memikirkanku seperti kumemikirkanmu? Apakah dalam pikiranmu ada namaku seperti kusimpan sekali lagi namamu dalam otak yang sudah terisi penuh dengan namamu!
Terlupakan, dilupakan, terbuang, dibuang. Huh, menyakitkan. Kamu memilih itu untukku.
Dear, ini menyakitkan untukku. Tapi aku berusaha mengerti apa yang menjadi pilihanmu. Aku takkan pernah menghalangimu melangkah di jalan yang ingin kamu jalani. Tapi dear, apakah kamu mengerti apa yang kurasa?
Air laut berdebur dahsyat seiring dengan gemuruh rindu yang menghantam dinding logika.
"Aku benci rasa rindu!"
Ombak membesar berlari susul menyusul, lalu menghempas ke karang besar pinggir pantai.
"Aku membenci rindu! Bunuh saja seluruh rindu yang kupunya!"
Angin berteriak melebihi suaraku yang memecah udara.
"Aku benci rindu! Aku benci rindu! Aku benci rindu!"
Aku, Err, yang memiliki banyak rindu tapi tak menyukai rindu.
Langit ikut menggelegar memekakkan telinga.
Aku, Err, tanpa kamu, bergelut dengan cerita yang tak kutahu kenapa terjadi dan sampai kapan akan berlanjut. Ini sekusut benang yang tak bisa terurai!
Aku, Err, perempuan sebiji mata kanan dan serongga mata kosong, tanpa teman, tanpa sahabat, tanpa siapa pun, karena Bless, lelaki tinggi besar yang selalu menemaniku pergi menemui masa lalunya. Aku menunggu di sini, dengan rasa yang sama. Kasih.
Aku merindukannya dengan segenap rindu yang selalu saja membuatku takut. Terkadang kuberharap tak pernah mengenalnya. Tapi jika memang dia tak pernah ada, mungkin aku pun hanya hantu perempuan biasa. Hantu perempuan yang tak pernah merasakan cinta dan rindu.
Bless, lelaki yang kukasihi entah ada di mana. Dia pergi membawa sejumlah kenang yang disimpannya sendiri.
Bless, kamu di mana? Apakah kamu juga merindukanku?
Segunung rasa bersalah timbul seketika. Jika saja aku tak pernah mencintainya, mungkin dia tak akan meninggalkanku! Sebuah kebodohan menyebabkan kesakitan yang tak pernah terbayangkan olehku. Ternyata cinta mencipta jarak antara aku dan Bless. Lalu kenapa cinta diciptakan jika hanya membuat luka makin menganga? Mengapa rindu bertumbuh dan berkembang, padahal hanya menjadi bibit kepiluan.
Aku, Err, yang tersenyum dalam tangis tak pernah berhenti.
Bless, kamu di mana? Akankah kamu kembali? Jika saja pelukanmu tak pernah ada untukku, mungkin hari yang kulalui hanya hari yag dingin dan beku. Tapi pelukanmu melukaiku. Aku rindu Bless lengkap dengan dinginnya pelukannya.
Aku pernah merasakan berada dalam dekapan erat yang menghangatkan. Ya, pernah! Aku tak berbohong! Semalam kurasakan dekap itu. Dalam mimpi. Hanya dalam mimpi, tapi mampu mengubah malamku menjadi indah luar biasa. Dan itu karena Bless.
Aku, Err, hantu perempuan yang punya sejumlah rindu dan kasih, tapi tak pernah bisa memiliki. Entah kenapa, garis yag kumiliki hanya segaris angan dan ingin. Yang terkasih hanya ada dalam mimpi, yang tercinta cuma jadi impian. Kasihku hanya menjadi kasih. Sebuku cerita hidup yang tak akan pernah kulupa.
Tak ingin kuingat cerita lama. Hanya saja terkadang cerita itu kembali dan kembali lagi. Apalagi saat ini aku benar-benar sendiri. Tanpamu, Bless.
"Bleeess!"
Hanya gema suaraku sendiri yang terdengar.
"Bless!"
Tetap tak ada jawaban. Suaraku menggaung sendiri.
"Aku akan memelukmu dari belakang, hingga kita bisa bersama menatap ke depan."
Kalimat indah Bless yang kusimpan baik-baik dalam ingatan.
Aku percaya Bless sedang menjalani apa yang harus dia jalani saat ini. Sedang menyelesaikan perkara yag dihadapinya.
Bless dan kerinduan, adalah dua hal yang melekat erat dalam debarku.
Selamat menempuh jalanmu sendiri, Bless. Selalu ada ruang untukmu kembali.
Aku, Err. Pernahkah melepas yang terkasih pergi meninggalkanmu dengan legawa? Mengumpulkan seluruh daya untuk bisa tersenyum dan mengucap,"Aku mengerti keputusanmu."
Aku, Err. Pernah hidup dalam duniamu. Berharap punya kisah indah bersama terkasih. Tapi lebih memilih menjadi yang selalu tersenyum saat kisah indah itu menjauh. Bagaimana denganmu?
Bless, ada rindu untukmu dariku, Err.
Nitaninit Kasapink,
Sendiri di sini mengenangmu adalah hal yang menyakitkan. Tak terbayang semua ini terjadi lagi padaku. Lagi! Berulang kali menghela napas panjang ternyata tak mengurangi rasa sakit yang terasa menyayat dalam dada. Lagi!
Lagi dan lagi kesakitan ini menyerang. Lagi dan lagi harus mengenang. Lagi dan lagi menyusut air mata.
Dalam hati bertanya, apakah kamu mengenangku seperti aku mengenangmu? Apakah kamu mengingatku seperti kumengingatmu? Rasanya tidak.
Dalam pikiran pun ada tanya, apakah kamu memikirkanku seperti kumemikirkanmu? Apakah dalam pikiranmu ada namaku seperti kusimpan sekali lagi namamu dalam otak yang sudah terisi penuh dengan namamu!
Terlupakan, dilupakan, terbuang, dibuang. Huh, menyakitkan. Kamu memilih itu untukku.
Dear, ini menyakitkan untukku. Tapi aku berusaha mengerti apa yang menjadi pilihanmu. Aku takkan pernah menghalangimu melangkah di jalan yang ingin kamu jalani. Tapi dear, apakah kamu mengerti apa yang kurasa?
Air laut berdebur dahsyat seiring dengan gemuruh rindu yang menghantam dinding logika.
"Aku benci rasa rindu!"
Ombak membesar berlari susul menyusul, lalu menghempas ke karang besar pinggir pantai.
"Aku membenci rindu! Bunuh saja seluruh rindu yang kupunya!"
Angin berteriak melebihi suaraku yang memecah udara.
"Aku benci rindu! Aku benci rindu! Aku benci rindu!"
Aku, Err, yang memiliki banyak rindu tapi tak menyukai rindu.
Langit ikut menggelegar memekakkan telinga.
Aku, Err, tanpa kamu, bergelut dengan cerita yang tak kutahu kenapa terjadi dan sampai kapan akan berlanjut. Ini sekusut benang yang tak bisa terurai!
Aku, Err, perempuan sebiji mata kanan dan serongga mata kosong, tanpa teman, tanpa sahabat, tanpa siapa pun, karena Bless, lelaki tinggi besar yang selalu menemaniku pergi menemui masa lalunya. Aku menunggu di sini, dengan rasa yang sama. Kasih.
Aku merindukannya dengan segenap rindu yang selalu saja membuatku takut. Terkadang kuberharap tak pernah mengenalnya. Tapi jika memang dia tak pernah ada, mungkin aku pun hanya hantu perempuan biasa. Hantu perempuan yang tak pernah merasakan cinta dan rindu.
Bless, lelaki yang kukasihi entah ada di mana. Dia pergi membawa sejumlah kenang yang disimpannya sendiri.
Bless, kamu di mana? Apakah kamu juga merindukanku?
Segunung rasa bersalah timbul seketika. Jika saja aku tak pernah mencintainya, mungkin dia tak akan meninggalkanku! Sebuah kebodohan menyebabkan kesakitan yang tak pernah terbayangkan olehku. Ternyata cinta mencipta jarak antara aku dan Bless. Lalu kenapa cinta diciptakan jika hanya membuat luka makin menganga? Mengapa rindu bertumbuh dan berkembang, padahal hanya menjadi bibit kepiluan.
Aku, Err, yang tersenyum dalam tangis tak pernah berhenti.
Bless, kamu di mana? Akankah kamu kembali? Jika saja pelukanmu tak pernah ada untukku, mungkin hari yang kulalui hanya hari yag dingin dan beku. Tapi pelukanmu melukaiku. Aku rindu Bless lengkap dengan dinginnya pelukannya.
Aku pernah merasakan berada dalam dekapan erat yang menghangatkan. Ya, pernah! Aku tak berbohong! Semalam kurasakan dekap itu. Dalam mimpi. Hanya dalam mimpi, tapi mampu mengubah malamku menjadi indah luar biasa. Dan itu karena Bless.
Aku, Err, hantu perempuan yang punya sejumlah rindu dan kasih, tapi tak pernah bisa memiliki. Entah kenapa, garis yag kumiliki hanya segaris angan dan ingin. Yang terkasih hanya ada dalam mimpi, yang tercinta cuma jadi impian. Kasihku hanya menjadi kasih. Sebuku cerita hidup yang tak akan pernah kulupa.
Tak ingin kuingat cerita lama. Hanya saja terkadang cerita itu kembali dan kembali lagi. Apalagi saat ini aku benar-benar sendiri. Tanpamu, Bless.
"Bleeess!"
Hanya gema suaraku sendiri yang terdengar.
"Bless!"
Tetap tak ada jawaban. Suaraku menggaung sendiri.
"Aku akan memelukmu dari belakang, hingga kita bisa bersama menatap ke depan."
Kalimat indah Bless yang kusimpan baik-baik dalam ingatan.
Aku percaya Bless sedang menjalani apa yang harus dia jalani saat ini. Sedang menyelesaikan perkara yag dihadapinya.
Bless dan kerinduan, adalah dua hal yang melekat erat dalam debarku.
Selamat menempuh jalanmu sendiri, Bless. Selalu ada ruang untukmu kembali.
Aku, Err. Pernahkah melepas yang terkasih pergi meninggalkanmu dengan legawa? Mengumpulkan seluruh daya untuk bisa tersenyum dan mengucap,"Aku mengerti keputusanmu."
Aku, Err. Pernah hidup dalam duniamu. Berharap punya kisah indah bersama terkasih. Tapi lebih memilih menjadi yang selalu tersenyum saat kisah indah itu menjauh. Bagaimana denganmu?
Bless, ada rindu untukmu dariku, Err.
Nitaninit Kasapink,
Comments
Post a Comment