Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

(23) Err Dan Bless, Pantai Dan Laut Yang Berdarah

Pagi, siang, sore, dan malam, pantai ini tetaplah pantai yang indah menurutku. Sepi mau pun ramai, pantai ini tetaplah pantai yang memesona! Pantai ini adalah rumah bagiku. Rumah ini memang memesona. Enggan pindah dari sini. Aku hanya akan mengisi dunia matiku di sini saja. Bersama Bless, tentunya. Bless, lelaki besar dengan ukuran sepatu 45 adalah senyum termanisku! Setiap bersamanya senyumku tersungging di bibir. Bibir yang dingin, katanya padaku. Ya, sedingin pelukannya. Bersamanya selalu saja ada alasan untuk tertawa. Bergandengan tangannya membuatku merasa istimewa. Memeluknya menyamankanku. Tempat terindahku ada di dalam pelukannya yang menenangkan. Damaiku mengalun saat nada-nada lagu didendangkannya untukku. Senyumnya yang sedikit melindungiku dari segala hal. Tawa dan seluruh candanya adalah penghibur yang luar biasa. Keseriusannya membawaku pada sebuah ruang bernama hening. Dan tangisnya adalah pernyataan bahwa dia pun sama sepertiku,membutuhkan kasih yang menyembuhkan

(22) Err Dan Bless, Bersamamu Dalam Hitam

Laut ini masih laut yang sama, dengan ombak  yang sama, hamparan butir pasir yang juga sama, hembusan angin yang sama, dan cahaya matahari yang memang sama. Semua sama seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda. Menikmati sinar matahari yang memanas di kulit pastilah menyenangkan sekali! Tapi tidak untukku. Matahari tidak bisa menyengatkan sinarnya padaku. Hai, betapa luar biasanya hidup di dunia ini! Di saat kamu berjemur ingin menggelapkan kulit, aku tak dapat disentuh oleh panasnya sedikit pun. Dan saat kamu berlindung dari sengatan matahari, aku memang tak dapat menggelap! Gaun hitamku selalu berkibar seperti layar kapal dihembus angin. Rambut seleher diacak angin. Tapi biar saja, kubiarkan terlihat seperti sedang dipermainkan angin. Padahal mana mngkin angin menyentuh gaun dan rambutku? Dunia berbeda yang memberi perbedaan besar. Ini gaun hitam yang amat kusuka! Tanpa renda, tapi membuatku merasa anggun. Ayah yang membelikan untukku. "Kamu cantik dengan gaun hitam, Ell

(21) Err Dan Bless, Aku Ada Karena Keberadaanmu

Dear Bless, apakah kamu tahu bahwa aku mengasihimu setulus hati? Apakah kamu tahu aku mencintaimu sepenuh cinta yang kurasa? Apakah kamu tahu merindumu tanpa jeda adalah kegilaan yang memaksaku terus-menerus ingin bersamamu? Semoga kamu tahu, bahwa menjadi bagian dari detik milikmu adalah hal yang amat istimewa bagiku. Bahwa berada dalam dekapanmu adalah keindahan luar biasa untukku. Bahwa dalam genggamanmu aku merasa menjadi perempuan cantik. Bahwa saat mendengar suaramu melambungkanku ke langit tanpa batas. Bahwa melihatmu adalah magic untukku! Bahwa denganmu aku bukan perempuan yang tersia-sia, apalagi disia-siakan. Aku merasa ada karena keberadaanmu dalam gerakku. Err Kulipat secarik kertas sederhana berwarna hitam, lalu memasukannya ke dalam gunungan guguran bunga yang ada di taman pantai ini. Perlahan bangkit bangun. Gaun hitamku berkibar terkena angin yang berhembus lembut. Rambutku pun dihela angin. Pantai ini sepi. Air laut tenang, tak ada ombak, hanya ad

(20) Err Dan Bless, Masa Lalu Sudah Usai

Aku baru menyadari bahwa apa yang sedang terjadi adalah sebuah mimpi kosong yang kamu beri untukku. Semua pernyataan dan pertanyaanmu tentang aku dan tentang  rasa yang kumiliki terhadapmu hanyalah sebuah kisah kasih yang kosong. Aku baru menyadari bahwa semua yang terjadi dulu hanya sebuah guyon halus yang menerbangkanku jauh tinggi ke atas awan! Aku cuma secelah sempit tentang kasih yang ada. Kung! "Err, ada apa?" Lelaki besar yag selalu mendampingiku di dunia mati menyentuh bahuku perlahan, membuat lamunanku pecah seketika. "Tidak ada apa-apa, Bless." "Lalu kenapa kamu seperti hanyut dalam sebuah kenangan? Berapa banyak kenangan yang kamu punya?" Aku tersenyum padanya. Bless, andai kamu tahu apa yang ada dalam kenanganku. "Ceritakan padaku." "Tidak, ini hanya untuk kukenang sendiri. Tidak untukmu." Wajahnya berubah menjadi sendu. "Oh, ada rahasia yang kamu simpan, ternyata." Bless, kamu tidak tahu

(19) Err Dan Bless, Panggil Namaku

Pernahkah kamu bosan memandang laut? Pernahkah kamu jenuh berada di pinggir laut? Pernahkah kamu membenci laut? Aku mencintai laut! Aku cinta pantai! Semua hal yang berhubungan dengan pantai, laut, tak pernah membuatku jadi jenuh, bosan, apalagi membenci. Tidak akan pernah! Kenapa? Ah, laut, pantai, pasir, angin, sengatan matahari, beserta anginnya, membawa kedamaian untukku. Dan aku ada di sini di pantai, menatap laut yang tenang. Bless? Dia ada di sisiku. Duduk menatap laut juga. "Bless, sedang berpikir tentang apa?" "Tentangmu." "Tentangku? Tentang apa?" "Apakah kamu menyayangiku?" Tanya Bless. Terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, alisku berkerut, mata pun menyipit. Lalu beringsut berpindah duduk ke hadapannya. "Err, aku bertanya sungguh-sungguh. Apakah kamu menyayangiku?" Wajahnya terlihat serius, tanpa senyum. "Ya!" "Jangan berteriak. Aku mendengarmu, Err." Bersu

(18) Err Dan Bless, Semua Sesuai Prasangkamu Saja

Bless berjalan sendiri di pantai. Kakinya menendang pelan pasir di setiap kakinya melangkah. Butirannya beterbangan. Sedangkan aku asyik duduk di atas pasir hangat sinar matahari. Angin lembut bertiup. Daun-daun bergoyang pelan. Jajaran pohon meneduhi pantai. Melindungi siapa pun dari sengatan matahari. Beberapa orang terlihat asyik duduk bercengkrama. Pantai ini sepi, tidak hiruk pikuk. Air laut tenang mengalir menuju batas pantai, lalu kembali menuju laut. begitu terus menerus, tak berhenti. Suaranya tidak memekakkan, tapi bagiku malah menenangkan. Terlihat beberapa orang sedang menyusuri susunan batu yang disusun rapi. Senyum mereka jelas mengembang. Apakah kamu tahu? Aku amat suka melihat siapa pun tersenyum! Bagiku, senyum adalah wujud syukur karena telah diberi segala bahagia dalam seluruh kejadian yang hadir. Dan saat ini aku sedang menikmati setiap senyum yang ada. Bahagianya! Indahnya! Tapi saat kumemutar pandang, seorang perempuan sedang duduk di dalam gelo

(17) Err Dan Bless, Apakah Cinta Itu Ada?

Laut masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Masih belum berwarna biru, masih berombak liar, dan juga masih menyimpan ikan yang berenang keluar masuk bebatuan di pantai. Langit jernih biru dengan awan putih berarak seperti arum manis, gulali. Matahari bersinar cerah! Angin bertiup sepoi-sepoi memainkan rambut seleher, mengibarkan daun-daun nyiur yang lemah gemulai. Aku seperti biasa ada di sini, duduk santai di hamparan butiran pasir pantai. Jari kaki masuk ke dalam pasir. Hangat bermandi sinar matahari. Bless duduk di sisiku, dengan posisi duduk yang sama. Dia pun memainkan pasir dengan jari kaki dan jari tangannya. Aku, Err, perempuan syantik tanpa raga, karena ragaku sudah ditanam dalam bumi. Duniaku adalah dunia mati. Begitu juga Bless. Kami hidup dan berbagi kasih dalam dunia mati, tidak berada dalam dunia bercahaya kehidupan sepertimu. Tapi di sini malah kami mempunyai kematian yang lebih hidup dibanding hidupmu yang saling mematikan . Aku perempuan yang tak bi

(16) Err Dan Bless, Jangan Tepis Pelukanku

"Kenapa air laut rasanya asin, Bless?" "Karena yang manis itu teh botol." Jawab Bless. Aku terperangah mendengar ucapannya. Bless! Dia adalah lelaki tinggi besar yang selalu memeriahkan hariku. "Karena yang manis tuh akuuu!" Ujarku sambil tertawa. Dia tertawa keras. Suaranya menggetarkan daun-daun yang ada di pepohonan, lalu sebagian berguguran. "Bless! Suaramu menyakiti dedaunan!" "O ow! Maaf, daun-daun. Maaf, pohon-pohon," Bless berkata dengan suara terdengar seperti menyesali.  "Tidak boleh diulangi. Tidak boleh nakal. Ingat ya, tidak boleh nakal." "Tidak boleh nakal! Aku kenal dengan kalimat itu," ucapnya sambil tertawa yang ditahan. Mungkin dia takut daun-daun berguguran lagi. "Hahaha, ya jelas. Itu kalimat petuahmu untukku. Petuahmu. Ingat? Pe-tu-ah! Hahaha!" "Petuah. Aku jadi tetiba merasa tua seketika!" "Hei Bless. Kamu pikir berapa usiamu? Sepuluh tahun?"

(15) Err Dan Bless, Ketika Diperbolehkan Memilih

Suara ombak yang pecah di karang amat menenangkan. Mungkin ada sebagian yang takut pada gemuruhnya, tapi untukku ini amat menenangkan dan,menyenangkan! "Bless, kamu suka gemuruh ombak?" Tanyaku. "Hm, hm. Aku suka. Tapi sebenarnya aku lebih suka yang tenang dibanding suara debur berdebur." "Hah? Lalu kenapa kamu memilih berada di sini?" "Karena aku suka di deru ombak ada hening milikmu." Aku terpana mendengar jawabannya yang di luar dugaanku. "Hai hai, jangan bengong begitu! Yuk sesekali kita pergi dari sini." "Kemana?" "Sudahlah, ikut saja." Digandengnya aku. Hai, aku mengenal tempat ini! "Bless, serius berada di sini?" "Iya. Kenapa?" "Kita di sini?" "Apakah tidak boleh?" Tanyanya sambil tersenyum tipis. "Boleeeh!" Teriakku hingga  membuat pintu di depanku menutup. "Hei, kamu harus menahan diri, Err." Lalu dilanjjutkan deng

(14) Err Dan Bless, Mimpi Yang Dibunuh

"Err, pernah ke sana?" Tanya Bless sambil menunjuk ujung garis pandang laut. Aku menggeleng. "Mau ke sana?" Aku menggeleng. "Lehermu patah?" Antara mata berkerut mendengar pertanyaan anehnya. "Maksudmu, Bless?" "Hahaha! Itu loh, kepala mengeleng-geleng terus seperti akan terlepas dari leher! Hahaha!" Katanya tergelak. Kedua alis terangkat, mulut menganga. Sesaat kemudian barulah kumenyadari kalimat candaannya. Menyendok segenggam pasir lalu kuterbangkan ke arahnya. Butiran pasir melayang, menari menembus bayang tanpa raga. Dan kulihat ada sinar di sebiji mata miliknya! "Aku lelah, Bless." "O ow, hantu Err pun bisa merasa lelah! Mana, mana, biar kuseka keringatmu!" "Bleeess! Aku hantu yang tanpa keringat!" Kami tergelak bersama. "Bless, you're amazing for me." "Hei, hei, aku hantu lokal, bukan hantu bule!" Lagi-lagi gelak kami memenuhi pantai. "Ay

(13) Err Dan Bless, Berdua Menguatkan

Aku berlari kencang mengejar Bless yang ada di depan! "Bleeeeess!" Huh, langkah kakinya panjang sekali! "Bleeeess!" Huh, langkahnya terlalu cepat untuk kuikuti! "Bleeeeess!" Huh, ya sudahlah, lelah berlari mengikuti langkahnya. Aku berhenti saja sampai di sini. Huh! Duduk di pasir basah membiarkan dingin semakin merasuk dalam dinginnya diri ini, malah membuat nyaman. Menekuk kaki, menyangga tubuh pada dua tangan yang ke belakang, menengadahkan kepala hingga seluruh otot leher dan tengkuk terasa ditarik, mengatupkan mata, kuheningkan diri. Jemari menelisik ke dalam pasir. Butiran kasarnya membawa kenang dalam pikiran. "Err!" Kudiam. Teriakan itu tak lagi membuatku takut. Bentakan hanya jadi angin kosong. "Err!" Berhentilah memanggilku dengan suara usangmu. "Err! Tuli!" Ya, aku memang tuli pada bentakan dan makian, tentu saja. Tapi jika kamu memanggilku dengan lembut, pasti aku mendengarmu. "E

(12) Err Dan Bless, Tawa Hari Ini

"Err!" Aku seperti merasa mendengar suara Bless memanggil. Tapi kutak melihatnya! "Err!" "Bless? Kamukah itu?" Tetap tak kulihat Bless! "Bless, kamu di mana? Keluarlah, jangan sembunyi!" Suara angin mendesau menjawab teriakanku. Lagi dan lagi aku sendiri bermain pasir di sini. Angin mengajakku bercanda. Diangkatnya sekuntum bunga dan diletakan di atas rambutku, yang kemudian terjatuh menghempas bumi. "Err!" Huh, aneh saja, sudah menjadi hantu, masih saja berhalusinasi! Rutukku dalam hati. "Err!" Menjengkelkan sekali berhalusinasi di saat langit kelam begini. "Err!" Bless! Kenapa kamu  menjengkelkanku? Pergi ya pergilah jangan menggangguku dalam halusinasi. Tetiba kumerasa ada yang memeluk dari belakang. Pelukan yang dingin, leih dingin dari es. "Bless!" "Err." Tawa dan tangis bercampur jadi satu! Lelaki besarku kembali! "Bless, kamu kembali." "