Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2017

(29) Err Dan Bless, Err Dan Kematian

Dunia mati adalah dunia yang kosong. Hanya ramai dengan segala hal yang tidak bisa diraba dan tidak bisa dilihat olehmu. Sepi, bukan hening. Senyap, bukan tenang. Dunia mati memberiku sebuah kenyataan bahwa aku tidak lagi berada bersamamu dalam kehidupan. Menjelajah dunia mati sendiri, tanpa siapa-siapa. Hendak memanggil orang-orang yang kusayang, tak bisa. Mereka tak mendengarku. Aku bingung karena tak mengenal tempat ini. Dunia mati ini kosong. Aku merasa sendirian, dan memang hanya sendiri. Tak mengenal siapa-siapa. Diam melihat ke sekeliling, tak bicara pada siapa pun. Di sudut sana kulihat sosok nenek menangis. Di sisi sini kulihat sosok lelaki kecil terlihat kebingungan. Juga sosok anak kecil yang berlari bersimbah darah. Hidup di dunia penuh cahaya sudah selesai. Dunia mati adalah penggantinya. Gelap, kelam, suram. Di mana cahaya berpendar yang penuh pelangi? Bukan untukkukah? Berjalan ke sana dan ke sini, amat melelahkan! Hingga akhirnya aku pergi ke pantai ini. Berdiam

(28) Err Dan Bless, Menikah

Pantai ini memang selalu memberi nyaman untukku. Pasir lembutnya memijat telapak kaki, menempel saat kaki basah oleh air laut, dan menjadi bersih setelah dibasuh kembali oleh air laut. Di tempat inilah seluruh angan disimpan, juga di sinilah mengubur sebagian mimpiku. Aku suka angin laut yang menghembus kencang, memainkan gaun hitamku, mengacak-acak rambut seleherku. Ini mengusik masa lalu yang kerap datang di hari-hariku. "Apa cita-citamu?" Guru wali kelasku saat aku SD di kelas pertama menanyakan itu pada kami, seluruh murid. Banyak teman-teman berteriak ingin menjadi dokter. "Err, apa cita-citamu?" "Pengantin!" Aku menjawab dengan lantang. Kelas menjadi ramai setelah mendengar jawabanku. Sedangkan ibu guru amat terkejut. "Err, apa cita-citamu?" "Pengantin, Bu Guru." "Dokter, insinyur, pilot, astronot. Ada banyak pilihan, kenapa cita-citamu jadi pengantin?" "Aku suka jadi pengantin." "

(27) Err Dan Bless, Kasih Itu Istimewa

Bless berlari sekuat tenaga ke arahku. "Err! Err!" Suaranya menggema memanggil. Menggaung. "Err!" Teriakannya seakan bisa memecahkan karang, tapi telingamu tak bisa mendengarnya. Hanya ada sunyi, senyap. Jejak kakinya tercetak di pasir. Sebagian malah beterbangan. Angin berhembus amat kencang hingga daun-daun kelapa berdansa mengikuti iramanya. Ombak bergulung besar lalu pecah di pantai. Pasir menyurut ditarik ombak yang datang dan pergi. "Err!" "Ya, sudah, tidak usah berteriak lagi. Aku sudah ada di hadapanmu, lelaki besar." Dia tertawa hingga menyipit mata. "Ada apa, Bless? Ada hal penting yang hendak dibicarakan? Kamu hendak melamarku?" Tawa kami lepas bersama. "Aku punya ide bagus!" "Ide apa? Tumben sekali kamu punya ide bagus, big guy!" Aku terbahak melihat matanya membelalak. "Err, aku serius." "Yes, bicara saja." "Kita pergi dari sini!" Tangann

(26) Err Dan Bless, Hujan Masa Lalu

"Bleeess, hujaaan!" Aku berlari-lari ke arah Bless yang sedang melempar-lempar batu ke laut.  "Bleeeess! Hujaaan!"  Bless membalikkan badan ke arahku. Seperti biasa membuka lebar kedua tangannya siap memelukku yang datang semakin dekat. Masuk dalam pelukannya yang dingin memang selalu membuatku tenang. "Bless, hujan." "Iya, hujan. Kamu tidak basah, kan?" "Hahaha, tidak, Bless." "Lalu kenapa kamu berlari sambil berteriak memberitahuku bahwa hujan turun?" Aku terdiam, tak bicara sepatah kata pun.  "Hey perempuan, bicaralah. Jangan diam. Tadi kamu berlari sambil berteriak keras, lalu sekarang kamu diam? Beritahu aku, ada apa? Kamu punya kisah tentang hujan di masa lalu? Atau kamu ingin membuat kisah tentang hujan dan kita?" "Hujan selalu membuatku merasa tenang dan damai. Hujan memberiku kehangatan yang dingin. Hujan memelukku dengan seluruh airnya yang menyentuh kulit.

(25) Err Dan Bless, Dunia Pengabaian

Langit malam ini luar biasa indahnya! Penuh bintang bertebaran, kerlap-kerlip cahaya kecilnya! Daun-daun nyiur ditiup angin menari. Ombak-ombak kecil seperti anak-anak yang bermain kejar-kejaran. Aku, Err, perempuan bergaun hitam tanpa raga, hantu pantai yang memilih duduk di sini, di hamparan permadani pasir yang sejuk. Butir-butiran halusnya memberi sensasi pijat yang lembut di telapak kaki, dulu. Sedangkan sekarang aku hanya bisa mengenang betapa nyamannya butiran itu mengelus kulit. Tak pernah sekali pun terbayang akan berada di sini, di pantai dengan gaun hitam panjang yang sejak dulu kusuka. Dengan sebiji mata kanan yang kupunya, berusaha melihat dengan jelas ke depan, ujung garis pembatas laut. Menikmati kesendirian dalam hening adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dulu. Lebih menyukai berada sendirian dibanding bersama dengan yang lain. Sering kali mulutku terkunci, diam, tak bisa bicara sepatah kata pun. Sendiri, menyendiri, dan itu kebahagiaanku! Aneh? Ya, aku memang

(24) Err Dan Bless, Dendang Kita

Belum pernah terpikir akan meninggalkan pantai berpasir hangat beserta laut luas yang membentang. Butir-butir pasirnya mengenalku, begitu juga setiap tetes airnya! Bertahun berada di sini mengisi hari, tak sedetik pun bosan menikmati semuanya.  Sejak dulu semasa masih di dunia hidup, aku sering ke sini, ke pantai ini. Pantai ini menyimpan air mataku, tawaku, juga senyum yang kumiliki. Hampir seluruh jalan hidupku ditumpahkan di sini. Masa kecil, remaja, hingga dewasa, sering bermain ke sini. Dan sekarang aku berada di sini bersama Bless, lelaki besarku yang penuh kasih. Duduk di butiran pasir yang menghampar, diselimuti hangatnya mentari. Kakiku menggali pasir, lalu menimbunnya. Bless memainkan  pasir dengan jari telunjuknya. "Bless, apa hobimu?" "Hobi? Aku suka bernyanyi." "Oh ya?" "Ya. Dulu aku suka berkumpul dengan teman-teman, main gitar, bernyanyi sama-sama." "Oh ya?" "Ya. Apa hobimu, Err?" "A